Indograf.com – Berdasarkan analisis data organisasi nirlaba Pantau Gambut, dari 3,3 juta hektare sawit ilegal yang berada dalam kawasan hutan terdapat 407 ribu hektare terletak pada kesatuan hidrologis gambut dan 84 persen di antaranya berada pada lahan gambut dengan fungsi lindung.
Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut Wahyu Perdana mengatakan ada 47 entitas perusahaan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang beroperasi pada kesatuan hidrologis gambut secara ilegal dalam kawasan hutan.
Menurutnya, proses sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) berpotensi menjadi greenwashing bila tidak dijalankan dengan baik karena yang tertera pada sertifikat tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
“Kredibilitas akan hilang kalau tidak ada tindakan terhadap anggota-anggotanya yang melanggar,” pungkas Wahyu sebagai Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut.
Organisasi nirlaba Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia memberikan beberapa catatan terkait keberadaan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dalam memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit.
“Selama 20 tahun atau dua dekade berdiri RSPO sebenarnya telah gagal memenuhi misinya untuk menjadikan industri sawit berkelanjutan,” kata Direktur Eksekutif Tuk Indonesia (TuK) Linda Rosalina dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa.
Transformasi untuk Keadilan (Tuk) Indonesia memiliki empat catatan terkait keberadaan RSPO yang merupakan organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit tersebut.
Pertama, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) saat ini tidak bisa diharapkan lagi untuk menyelesaikan kasus masyarakat seperti yang dialami oleh masyarakat adat Kerunang dan Entapang yang berada di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Masyarakat adat Kerunang dan Entapang sedang berkonflik dengan PT Mitra Austral Sejahtera (MAS) anak usaha salah satu grup perusahaan besar di Malaysia.
Linda mengungkapkan bahwa keputusan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang menolak aduan warga Kerunang dan Entapang selama 11 tahun berproses dengan alasan kurangnya bukti itu sangat tidak manusiawi.
“Bukannya menindak anggotanya yang melakukan perampasan lahan, RSPO malah membiarkan dan mengabaikan bukti yang dibawa masyarakat berupa hukum adat derasah,” ujarnya.
Linda mengatakan RSPO justru menafsirkan hukum adat derasah itu secara sepihak dan keliru. Dalam putusan, RSPO menyampaikan bahwa derasah adalah peralihan hak.
Organisasi nirlaba Transformasi untuk Keadilan (Tuk) Indonesia lantas berkomunikasi dengan masyarakat adat dan para tokoh adat di Kabupaten Sanggau. Mereka menyebutkan bahwa derasah adalah hak sewa, bukan peralihan hak atas tanah dari masyarakat kepada perusahaan.
Catatan kedua, isu-isu yang berhubungan dengan kewajiban plasma masih diabaikan oleh anggota RSPO. Misalnya, kasus yang melibatkan warga di Desa Biru Maju, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah yang sedang berkonflik dengan PT Buana Artha Sejahtera (BAS) anak perusahaan PT Sinar Mas.
PT BAS terus mengingkari pembangunan kebun plasma untuk masyarakat. Padahal, perusahaan itu telah beroperasi selama 18 tahun di wilayah tersebut.
Berdasarkan regulasi, setiap perusahaan yang mendapatkan izin punya kewajiban untuk membangun kebun plasma bagi masyarakat.
Catatan ketiga adalah kecukupan legalitas itu tidak menjadi fokus anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Kasus PT BAS adalah salah satu contoh perusahaan yang tidak memiliki izin secara lengkap dan sampai saat ini perusahaan itu tidak memiliki hak guna usaha (HGU).
“Poin keempat atas dasar itulah kami melihat RSPO itu tidak relevan. RSPO tidak dapat berkontribusi terhadap perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia,” tegas Linda Direktur Eksekutif Tuk (Transformasi untuk Keadilan) Indonesia.
Sumber: Antara