INDOGRAF – Arus informasi digital yang deras, merebaknya disinformasi, serta tuntutan transparansi publik yang tinggi menempatkan humas pemerintah pada posisi strategis. Hal ini mengemuka dalam Konferensi Anugerah Humas Indonesia (AHI) 2025 yang digelar di Hotel Platinum Surabaya pada Selasa (23/9/2025).
Para narasumber sepakat bahwa humas pemerintah tidak lagi boleh terbatas pada fungsi pencitraan semata, melainkan harus menjadi penggerak utama dalam membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Fachrudin Ali Ahmad, sebagai pembicara pertama, menekankan bahwa humas kini menghadapi tantangan serius, mulai dari krisis kepercayaan, tuntutan akuntabilitas, hingga perubahan pola komunikasi masyarakat. “Humas harus menjadi garda terdepan dalam menyampaikan kebijakan, merespons aspirasi masyarakat, mengelola krisis komunikasi, sekaligus menjaga reputasi pemerintah secara berkelanjutan,” ujarnya.
Ketua Komisi Informasi Pusat, Dr. Ir. Donny Yoesgiantoro, MM., MPA., menambahkan bahwa keterbukaan informasi publik merupakan instrumen penting bagi demokrasi. Menurutnya, keterbukaan tidak hanya soal akses data, tetapi juga tentang kepercayaan, partisipasi, dan efektivitas kebijakan. “Fokus kami mendorong regulasi adaptif, digitalisasi layanan berbasis AI, serta pengawasan ketat agar badan publik makin transparan,” jelas Donny.
Ia juga menekankan perlunya penguatan Government Public Relations (GPR). “Humas pemerintah tidak boleh berhenti pada promosi instansi. Mereka harus menyampaikan kebijakan berbasis data, beretika, dan berdampak nyata bagi masyarakat,” tambahnya.
Dari tingkat daerah, capaian Jawa Timur turut dipaparkan. Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jatim, Sherlita Ratna Dewi Agustin, melalui perwakilannya Eko Setiawan, menyebut bahwa provinsi ini berhasil meraih skor 83,83 atau status ‘BAIK’ dalam Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) 2024, menempati peringkat kedua nasional—naik dari posisi ke-29 pada 2021. “Lompatan itu hasil program literasi publik, penguatan PPID, dan transformasi digital melalui website resmi, aplikasi, serta media sosial pemerintah,” terang Eko.
Sementara itu, Ketua Perhumas Surabaya Raya sekaligus akademisi Universitas Airlangga, Dr. Suko Widodo, menyoroti pentingnya perubahan paradigma humas. Menurutnya, komunikasi publik tidak bisa lagi sebatas seremoni. “Kepercayaan publik tidak lahir dari baliho atau slogan, tetapi dari keterbukaan dan komunikasi yang bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Suko mencontohkan praktik transparansi seperti Masjid Jogokaryan di Yogyakarta, Command Center Surabaya, hingga informasi cepat dari BPBD Jatim saat bencana sebagai model komunikasi publik yang efektif membangun kepercayaan. “Indonesia Maju tidak lahir dari slogan, tetapi dari komunikasi publik yang jujur, responsif, dan akuntabel,” pungkasnya.