Oleh Muhammad Arsyad*
Indograf.com – Tidak habis pikir. Kita kembali menemukan sejumlah kegagalan bernalar kiai Imam Jazuli dalam artikelnya.
Setelah soal Khittah NU yang sudah kita bahasa sebelumya, kali ini soal Politik Identitas dan Ideologi kebangsaan yang selama ini telah menjadi komitmen dan perjuangan politik Nahdliyyin.
Adapun artikel yang saya maksud adalah artikel yang ia tulis berjudul “Memahami Makna Politik Identias, Meluruskan Gus Yaqut.” Sebuah artikel yang ia buat untuk merespon pernyataan Gus Yaqut tentang bahaya memilih calon pemimpin yang punya track record ‘buruk’ dalam mengguakan politik identitas.
Dalam artikel yang ia tulis, ia melakukan pemaksaan dalam memeberikan argumentasi dan gagal dalam ber-nalar setidaknya sebanyak empat kali. Pertama, ia mengatakan bahwa Gus Yaqut sebagai Menteri Agama RI jauh dari kata ideal sebagai nahkoda kementerian, karena ia kerap menjadi target cibiran dan cemoohan.
Bagi kita yang mengamati isu keagamaan di Indonesia dan sepak terjang Gus Yaqut, maka bisa langsung tahu, bahwa dalam hal ini kiai Imam Jazuli terlalu membeasar-besarkan masalah.
Dimana selama masa jabatannya, Gus Yaqut hanya mengeluarkan beberapa pernyataan yang menarik perhatian publik, dan jikalaupun itu menimbulkan cibiran, itu berasal dari kelompok yang memang bermasalah dengan ideologi bangsa Indonesia yang berpijak pada Kebhinekaan; yang tak jauh-jauh berasal dari kelompok “islamist.”
Kedua, ketika kiai Imam Jazuli mengatakan bahwa Gus Yaqut tidak sejalan dengan visi besar Prisiden RI Jokowi yang telah lama memperjuangkan semangat kebersamaan, persatuan dan politik anti-pecah belah.
Hal ini dibuktikan dengan tindakan Presiden Jokowi yang menggandeng rival politiknya sendiri ke dalam kabinet yang ia bentuk; Presiden Jokowi dinyatakan telah berhasil mendamaikan kubu “cebong dan kampret” yang pernah terpolarisasi sedemikian keras pada pilpress sebelumnya.
Sedangkan, Gus Yaqut, konon dianggap memicu “perpecahan” dari pernyataannya tentang politik identitas. Padahal, kita juga sudah sama-sama mengetahui dengan gamblang, Presiden Jokowi juga kerap mewanti-wanti kepada masyarakat hingga elit politik tentang bahaya dalam penggunaan politik identitas dalam pidato-pidato strategisnya. Jelas, Presiden Jokowi telah mempelajarinya secara mendalam dari pengalaman pilpress 2019.
Adapun ketika kiai Imam Jazuli mengatakan bahwa untuk meredakan pertentangan politik identitas yang pernah terjadi pada Pilpres 2019, ia melakukan pengangkatan Prabowo dan Sandiaga Uno sebagai dua menterinya, nampaknya ia lupa, bahwa Presiden Jokowi juga kerap melakukan pemecatan terhadap menteri-menterinya yang dianggap tidak sejalan dengan visi besarnya.
Faktanya, sampai sejauh ini, kepemimpinan Gus Yaqut di kementerian tidak dipermasalahkan oleh Presiden Jokowi. Alih-alih terus diberi ruang yang luas untuk menyatakan pendapat-pendapat kritisnya.
Kemudian, sampai detik ini, jajaran pemerintahan strategis Jokowi masih bersih dari infiltrasi kelompok-kelompok pengususng politik identitas. Artinya apa? Presiden Jokowi tidak menganggap Prabowo dan Sandiaga Uno sebagai dalang dari penggunaan politik identitas pada Pilpress 2019.
Di sisi lain, fakta yang tidak bisa ditolak, Presiden Jokowi pernah memecat seorang menterinya, dan pada masa tertentu ia menjadi simbol sentral dari peta konflik Politik Identitas yang sangat keras dan menghalalkan segala cara demi ambisi politiknya! Dan fakta lucunya, sosok yang dimaksud adalah sosok yang saat ini dibela mati-matian kiai Imam Jazuli!
Ketiga. Kiai Imam Jazuli mengatakan bahwa Gus Yaqut konon salah paham dalam memahami makna dari politik identitas. Dengan argumen, bahwa perspektif politik identitas klasik sudah berubah ke dalam perspektif kontemporer yang disebut sebagai perspektif interseksional.
Kemudian, ia mengatakan sebagian politik identitas tidak semuanya salah. Problemnya adalah, kiai Imam Jazuli hanya memahami ini sebagai teori normatif belaka, sedangkan Gus Yaqut bicara persoalan yang sangat khusus serta konkrit kasusnya. Dan berdampak pada polarisasi publik
Ya, kasusnya benar-benar terjadi, pada Pilkada DKI 2017 dan pilpres 2019 lalu, masyarakat begitu terpolarisasi disebabkan oleh para penunggang jahat dari Politik Identitas.
Sehingga, benar-benar diakui oleh banyak kalangan sebagai wajah buruk bagi potret demokrasi–bahkan beragama–Indonesia. Jakarta pada saat itu, nampak benar-benar menjelma situasi abad kegelapan di mana agama dijadikan alat politik dan persekusi sosial bagi mereka yang tidak memilih partai tertentu.
Keempat. Kiai Imam Jazuli mengatakan, bahwa setiap partai politik yang hidup di Indonesia harus mempromosikan politik identitas yang universal, misalnya: demokrasi, pluralitas, gotong-royong, keadilan dan lainnya.
Bagaimana bisa mengatakan politik identitas sebagai sesuatu yang universal sekaligus di dalamnya ia rincikan sebagai pluralitas? Bukankah itu jelas ia mengatakan hal yang paradoks? Pernyataan demikian sungguh-sungguh membuktikan sekali lagi, bahwa kiai Imam Jazuli tidak memahami konteks dan realitas sosial yang sebelumnya terjadi sebab kita tahu dalam teori Islam ada sebab-ada musabab maka apa yang dibicarakan, melainkan juga mendapatkan kesimpulan yang memang gagal dalam memberikan argumen serta dalam ber-nalar.
Perlu diketahui, bahwa politik identitas adalah satu konsep yang muncul dalam kultur pasca masyarakat modern yang menjunjung universalisme. Politik identitas memang lahir dalam semangat zaman yang bergerak dalam multikulturalisme,pluralisme dan kebhinekaan. Dan ide-ide inilah yang selama ini diperjuangkan oleh kalangan Nahdyiyin dan Gusdur! Dan jika ditanya siapa penentang terkerasnya? Tidak ragu lagi kelompok Islamisist yang sebagian besarnya kini berkumpul di kubu yang diranjangi oleh PKB Cak Imin serta Kiai Buzzernya kiai Imam Jazuli sendiri!
Hemat saya, kiai Imam Jazuli ini benar-benar tidak punya kapasitas bicara mengenai isu ini. Apalagi sampai menanggapi Gus Yaqut yang memang ia berdiri di garda depan pemerintah saat ini untuk menjaga kondusivitas ideologi negara Indonesia yang damai dalam lingkup antar kehidupan sesama umat beragama.
Gus Yaqut jelas lah membela politik identitas yang baik, dimana ide-ide multikulturalisme dan pluralisme beragama menjadi pijakannya. Sekaligus aktif memerangi para penjahat laten yang bersembunyi dibalik retorika politik yang sesungguhnya oportunis. Sedangkan kiai Imam Jazuli? Ia sendiri masih nampak bingung limbung dengan alur nalar yang dimilikinya!
Melihat situasi yang demikian, dengan kapasitas juru bicara pendukung partai yang tidak mumpuni dalam berargumen, saya merasa, PKB pada dasarnya hari ini sedang dalam masa kegelapan dan elit-elitnya sedang mengalami kepanikan luar biasa karena kadung terperosok dalam pilihan politik yang salah yang disebabkan ambisi/nafsu berkuasa yang tidak terkontrol.
Efeknya, ketika sentilan diluncurkan kepada para pelaku politik identitas yang senantiasa merongrong ideologi NKRI, eh malah justru PKB yang kebakaran jenggot!
PKB adalah sebuah partai yang didirkan oleh Gusdur dengan semangat menghadirkan wajah serta aspirasi suara keislaman yang moderat, toleran dan percaya 100 persen tanpa sikap taggung pada nilai-nilai pluralisme dan kebhinekaan.
Tidak main-main, untuk memperjuangkan ini, Gusdur sampai difitnah macam-macam bahkan lebih jauh beliau sempat dan kerap dikafirkan. Oleh karenanya, tak salah jika, Gusdur jugalah yang sebelumnya pernah menjadi salah satu tokoh sentral dalam gerakan membendung infiltrasi ideologi yang merusak nilai-nilai kebangsaan yang luhur dan mulia itu.
Pertanyaannya, bagaimana PKB hari ini? Dan saat ini, amat teramat disayangkan, PKB justru–sekali lagi–seperti partai yang panik demi ambisi kekuasaan malah nampak menghalalkan segala cara. Yang mana, kini tak terhitung jumlahnya kalangan Nahdliyyin dari elit bahkan sampai akar rumput, mencibir dan bahkan mencemooh langkah yang telah dibuat oleh PKB dan para elit oportunisnya.
PKB harus diselamatkan dari bencana laten tergerusnya ideologi keislaman yang rahmatan lil alamin akibat nafsu politiknya yang menggebu-gebu!
* Alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Alumni Universitas Paramadina Jakarta
Ketua umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Filsafat Universitas Paramadina 2018-2019
Kepala Bidang Kajian riset dan intelektual BEM Universitas Paramadina 2017-2018