Indograf.com – Pelakor sebuah istilah yang dewasa ini cukup tenar di kalangan masyarakat.
Pelakor, singkatan dari perebut lelaki (suami, red) orang yang dewasa ini populis dan menjadi ketakutan banyak ibu rumah tangga.
Lalu apakah pelakor bisa dikenakan pidana? Jawabannya bisa. Berikut ini dasar hukumnya.
Pelakor atau perebut suami orang adalah istilah yang sering digunakan untuk menyebut orang yang berselingkuh dengan pasangan orang lain.
Tindakan ini tentu saja dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang dirugikan, baik secara moral maupun materi.
Menurut ahli hukum pidana, Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, pelakor bisa dikenakan pidana jika memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Ada beberapa pasal dalam KUHP yang dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk menjerat pelakor,” jelasnya.
- Pasal 284 ayat (1) KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan cabul dengan seorang yang diketahuinya atau patut diduganya bahwa ia telah bersuami atau beristeri, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda pidana Rp 4.500.000,”
- Pasal 285 KUHP:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersuami melakukan perbuatan cabul, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
- Pasal 286 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan cabul dengan seorang wanita bersuami, padahal diketahuinya bahwa ia dalam keadaan tidak berdaya atau tidak sadar, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
- Pasal 287 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan cabul dengan seorang wanita bersuami, padahal diketahuinya bahwa ia karena penyakit jiwa tidak mampu menentukan kemauannya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
- Pasal 288 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan cabul dengan seorang wanita bersuami, padahal diketahuinya bahwa ia karena pengaruh minuman keras atau obat-obatan tidak mampu menentukan kemauannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Selain itu, pelakor juga bisa dikenakan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya pasal 44 ayat (1) yang berbunyi:
“Setiap suami atau isteri yang melakukan perzinahan dapat dituntut oleh suaminya atau isterinya untuk bercerai.” Dalam hal ini, pelakor dapat dianggap sebagai pihak ketiga yang ikut bertanggung jawab atas perzinahan tersebut.
“Dan untuk dapat menjerat pelakor dengan pidana, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang dirugikan,” ungkapnya.
Adanya bukti kuat dan sah tentang hubungan terlarang antara pelakor dan pasangan orang lain, seperti surat, foto, video, rekaman suara, saksi mata, atau hasil tes DNA.
Adanya laporan resmi dari pihak yang dirugikan kepada aparat penegak hukum, seperti polisi atau kejaksaan.
Adanya pengadilan yang memutuskan bahwa pelakor bersalah melakukan tindak pidana sesuai dengan pasal-pasal yang disebutkan di atas.
Jadi, pelakor bisa dikenakan pidana jika ada bukti dan proses hukum yang mengikutinya. Namun, hal ini tentu saja tidak mudah dilakukan karena membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang besar.
“Oleh karena itu, sebaiknya kita menjaga kesetiaan dan keharmonisan dalam rumah tangga agar terhindar dari masalah seperti ini,” paparnya.