INDOGRAF – Kasus korupsi yang melibatkan PT. Timah Tbk dengan klaim kerugian negara sebesar Rp 300 triliun telah menjadi perdebatan publik yang kontroversial.
Kejaksaan Agung RI melalui Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah sejak awal membangun narasi bahwa ini adalah mega korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Namun, pendapat hukum dari Dr. Andi Kusuma, S.H., M.Kn., CTL, menyarankan agar kasus ini dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yakni sebagai “Mega Kriminalisasi Hukum” terhadap kebijakan bisnis yang sah.
Menurut Dr. Andi, dalam perkara ini, Kejaksaan Agung telah mengubah perannya dari lembaga penegak hukum menjadi seolah-olah seorang ahli tata niaga, lebih berfokus pada kebijakan ekonomi dan bisnis ketimbang semata-mata penegakan hukum.
“Kejaksaan Agung seolah membentuk narasi dengan menyusun kerugian negara yang sangat bombastis, padahal dalam praktik bisnis, langkah PT. Timah lebih mengarah pada keputusan untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan di tengah pasar bebas yang kian ketat,” ujar Dr. Andi. Senin, 10 Maret 2025.
Selain kasus PT. Timah, Dr. Andi juga mengkritik pola serupa yang diterapkan pada tata niaga sektor lain, seperti kasus PT Dapo Agro Makmur di bidang sawit dan kasus tata niaga minyak mentah Pertamina. Semua perkara ini, menurutnya, tampak disorot dengan cara yang sama – kerugian negara yang sangat besar namun dipandang sebagai kebijakan yang sah dalam dunia bisnis.
Dalam kasus PT. Timah, sejak tahun 1999, timah tidak lagi dianggap komoditas strategis, yang memaksa PT. Timah Tbk untuk bersaing dengan perusahaan smelter swasta.
“Demi bertahan di tengah persaingan ini, PT. Timah Tbk melaksanakan kebijakan yang disebut Program Pengamanan Objek Vital (Pamovit), sebuah langkah strategis untuk mengamankan cadangan bijih timah. Program ini memberikan dampak positif bagi produksi dan pendapatan perusahaan, yang tercermin dalam laporan tahunan perusahaan,” kata Dr. Andi.
Namun, kebijakan tersebut kini malah menjadi titik permasalahan yang berujung pada tuduhan korupsi. PT. Timah Tbk, yang seharusnya dihargai karena berhasil mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi tantangan global, malah dikriminalisasi atas kebijakan yang pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi perusahaan dan mendorong perkembangan ekonomi daerah.
Lebih lanjut, Dr. Andi menjelaskan bahwa selain program pamovit, aktivitas tambang rakyat yang semakin berkembang di Bangka Belitung juga ikut memengaruhi sektor pertambangan timah.
Oleh karena itu, PT. Timah Tbk mengembangkan kemitraan dengan para pelaku usaha lokal untuk mengelola sumber daya ini.
Keputusan-keputusan ini, yang harusnya dilihat sebagai langkah strategis, justru berbalik menjadi bagian dari dakwaan yang dikonstruksi oleh Kejaksaan Agung.
Terkait kerugian negara yang dituduhkan, Dr. Andi juga menyatakan bahwa perhitungan kerugian yang dibuat oleh Kejaksaan Agung dan BPKP sangat kontroversial dan patut dipertanyakan.
Dalam hal ini, kerugian yang dihitung berjumlah Rp 300 triliun, namun sebagian besar bersifat potensial dan belum terbukti secara faktual.
“Metode perhitungan ini tidak hanya mengabaikan asas akuntansi dasar, tapi juga menunjukkan upaya untuk membentuk narasi yang lebih besar dari kenyataan,” tambahnya.
Perkara ini telah menjadi sorotan publik, yang memunculkan pertanyaan besar: apakah kasus ini benar-benar mega korupsi, ataukah kita sedang menyaksikan satu contoh terbesar dari kriminalisasi kebijakan bisnis yang sah?
Dengan dinamika yang semakin berkembang, masyarakat dan pihak-pihak terkait diharapkan dapat melihat kasus ini secara lebih objektif dan memperhatikan dampaknya terhadap sektor ekonomi serta keadilan dalam proses hukum di Indonesia.
Apakah ini langkah yang benar untuk penegakan hukum, ataukah sebenarnya kita sedang dihadapkan pada sebuah “mega kriminalisasi” yang mengguncang dunia usaha Indonesia?