Indograf.com – Pengembangan berbasis transit (transit-oriented development/TOD) Kepala Bidang Pemanfaatan Ruang Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, Dan Pertanahan (DCKTRP) DKI Jakarta Merry Morfosa, Dia menekankan perlunya pengembangan kawasan semacam itu di wilayah lain di Jakarta, selain Sudirman dan MH Thamrin, seperti antara lain Fatmawati, Blok M, Dukuh Atas, Istora Senayan, Lebak Bulus, guna menyokong kegiatan Jakarta sebagai kota bisnis.
Dia berharap, dengan adanya kawasan berorientasi transit di Jakarta, maka semua orang bisa tinggal, berkegiatan, bahkan berekreasi di kota tersebut.
“Jangan sampai kawasan TOD ini menjadi eksklusif ya Bu, kalau bisa dia harus inklusif,” kata Merry.
Pihaknya juga selalu terbuka untuk berdiskusi dan menerima saran dari masyarakat untuk membuat kebijakan yang lebih baik dalam pembangunan kawasan berorientasi transit.
Pengembangan berbasis transit (transit-oriented development/TOD) diperlukan untuk merealisasikan Jakarta sebagai kota global, menurut Kepala Bidang Pemanfaatan Ruang Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, Dan Pertanahan (DCKTRP) DKI Jakarta Merry Morfosa.
Merry mengatakan, dengan mewujudkan infrastruktur transportasi yang terintegrasi, maka potensi-potensi kawasan berorientasi transit di Jakarta dapat terlihat.
“Kita kalau bisa ya bekerja kemudian rekreasi, ya di sini, dengan didukung oleh transportasi. Jadi backbone (tulang punggung) kita transportasi massal,” ujar Merry dalam Webinar Bicara Kota 2023 – Series 4: Menggali Potensi Kawasan Transit yang ditayangkan di kanal Youtube resmi DCKTRP DKI Jakarta pada Selasa.
Dia menjelaskan, ada sejumlah prinsip yang harus dipenuhi supaya sebuah kawasan yang punya potensi dapat menjadi wilayah yang berorientasi transit.
“Yang pertama, prinsip dasarnya adalah dia berada pada simpul transit angkutan umum massal (SAUM) berbasis rel, baik yang telah terbangun maupun yang dalam proses pembangunan,” ujarnya.
Kemudian, terangnya, sarana angkutan umum massal memiliki kapasitas frekuensi sedang atau tinggi, serta lokasinya yang berada di kawasan rendah bencana dan memiliki sistem mitigasi.
“Dilayani juga dengan infrastruktur dasar. Air bersih, sampah, dan lain-lain,” dia menjelaskan.
Selain itu, dia juga menyebutkan perlunya radius kawasan berjalan kaki sepanjang 400-800 meter, adanya pengelola kawasan tersebut, serta luas minimal yaitu 100 Ha.
“Kawasan berorientasi transit itu, itu intinya adalah integrasi,” dia menambahkan.
Adapun kriteria integrasi yang dimaksudkan antara lain konektivitas dan permeabilitas kawasan, integrasi jalur pedestrian dan jalur sepeda, ketersediaan infrastruktur dasar, serta tata massa bangunan yang lebih kompak (compact).
Selain itu, ujarnya, adalah ketersediaan ruang publik dan adanya peta informasi, serta parkir yang dibatasi karena memang fokus kawasan tersebut adalah transit.***
Sumber: Antara