Indograf.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat menyoroti dugaan kerusakan hutan bakau (mangrove) dan penimbunan di kawasan wisata dan konservasi Danau Gili Meno di Kabupaten Lombok Utara.
Direktur Walhi NTB, Amry Nuryadin mengakui bahwa kerusakan hutan mangrove tidak hanya terjadi pada kawasan wisata Gili Meno saja melainkan juga terjadi di kawasan Tanjung Lombok Utara.
“Kami pernah turun dan melihat kerusakan yang terjadi di kawasan hutan mangrove itu atas nama revitalisasi kawasan wisata,” ujarnya melalui telepon dari Mataram, Minggu.
Ia mengatakan persoalan kerusakan hutan mangrove “berkedok” revitalisasi wisata yang terjadi di wilayah itu pernah diteruskan ke Pemerintah Kabupaten Lombok Utara. Hanya saja, tidak begitu mendapat tanggapan dari pemerintah daerah setempat.
“Sudah pernah kami sampaikan bahwa banyak kawasan-kawasan di wilayah itu yang kritis dan terancam karena adanya alih fungsi kawasan hutan dan mangrove dan itu masif terjadi dan kami pun melihat implementasi penegakan terhadap itu juga tidak ada, coba dicek satu tahun atau dua tahun terakhir ini penegakan hukum terhadap kerusakan itu tidak ada, padahal kerusakan itu ada dan nyata di depan mata kita,” terang Amry Nuryadin.
Amry menegaskan hutan bakau atau mangrove merupakan salah satu jenis ekosistem yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan di bumi. Kerusakan hutan bakau menimbulkan berbagai dampak buruk bagi manusia dan lingkungan. Namun, faktanya banyak hutan bakau yang telah rusak.
“Dampak hutan bakau yang rusak akan menimbulkan terjadinya abrasi pantai. Rusak-nya hutan bakau berarti gelombang pasang surut laut dengan mudahnya mengikis pantai dan menyebabkan abrasi. Tanpa adanya hutan bakau, garis pantai akan cepat terkikis dan perlahan menyempit karena abrasi,” terang Amri Nuryadin.
Ia mengatakan, secara regulasi tentang perlindungan hutan mangrove termaktub dalam UU nomor 27 tahun 2007 tentang Pulau-Pulau kecil dimana diberikan kewajiban kepada pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan salah satunya kawasan mangrove karena memang itu salah satu yang dilindungi ekosistem pesisir dan laut.
Apalagi, sejauh ini data dari Pemda Kabupaten Lombok Utara menyatakan ada 18 titik rawan abrasi disepanjang pantai di Lombok Utara.
“Jadi janganlah ditambah lagi dengan memberikan ijin kepada salah satu perusahaan, tapi tidak mengontrol perusahaan itu yang teritorial-nya di wilayah pantai. Apalagi Gili Meno itu wilayah konservasi,” ucapnya.
Ia pun menyatakan, akan kembali melakukan proses investigasi terhadap kerusakan hutan di kawasan wisata yang masuk dalam kawasan tiga gili (Tarawangan, Meno dan Air) di Kabupaten Lombok Utara itu. Sebab, investigasi ini penting untuk melihat sejauh mana kerusakan yang terjadi.
“NTB ini ada 443 pulau-pulau kecil dan dua pulau besar, yakni Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Status pulau-pulau ini harus di lindungi. Karena itu kuncinya juga pada pemberian izin. Maka dari itu pengusaha-pengusaha yang dapat izin harus taat, begitu juga pemda harus ketat dalam memberikan izin,” katanya.
Diketahui Gili Meno, adalah rangkaian pulau yang masuk bagian dari Gili Tramena (Trawangan, Meno, dan Air). Yang istimewa, Gili Meno memiliki danau air asin dengan vegetasi hutan bakau atau mangrove. Hal yang tak bisa ditemukan di Gili Trawangan dan Gili Air.
Sayangnya, pulau kecil yang ditetapkan sebagai pulau konservasi ini diduga mulai tergerus pembangunan pariwisata yang tidak ramah lingkungan.
Sejumlah wisatawan mengungkapkan temuan mereka tentang dugaan kerusakan hutan bakau atau mangrove serta penimbunan danau di Gili Meno, Kabupaten Lombok Utara.
“Panoramanya sangat indah di Gili Meno ini, baik di danau-nya maupun bahari lautnya. Tapi sayang kelihatan kurang terawat dan juga ada kerusakan mangrove serta kita lihat ada penimbunan danau untuk pembangunan,” kata wisatawan asal Yogyakarta yang berlibur di Gili Meno, Satya Wirawan (35)
Selain itu menurut Wirawan, pemerintah sudah membangun sarana jembatan kayu sepanjang lintasan hutan bakau di danau Gili Meno. Hanya saja, lintasan kayu ini sudah terlihat banyak yang lapuk dan bisa membahayakan wisatawan yang memanfaatkannya.
Tutupan sebaran hutan mangrove di kawasan juga nampak banyak yang mulai gundul.
“Yang lebih mengkhawatirkan, kami melihat ada pekerjaan proyek semacam hotel di tepi danau sisi selatan. Dari bentangannya bisa terlihat kalau lahan yang dipakai itu merupakan reklamasi atau penimbunan Danau,” jelasnya.
Wirawan berharap masalah ini menjadi perhatian semua pihak, termasuk pemerintah. Sebab jika dibiarkan, maka upaya konservasi hanya akan menjadi sia-sia semata.
Sumber; Antara News/Nur Imansyah